TENGGARONG — Di tengah maraknya wisata kekinian dan tren destinasi swafoto, Museum Kayu Tuah Himba di Tenggarong tetap berdiri sebagai penjaga warisan sejarah dan kekayaan alam Kalimantan. Salah satu koleksi paling mencuri perhatian di museum ini adalah spesimen buaya yang diawetkan, menjadikannya daya tarik unik yang tak ditemukan di tempat wisata lain di Kutai Kartanegara (Kukar).
Spesimen buaya ini bukan hanya menjadi objek foto favorit pengunjung, tetapi juga menjadi sarana edukasi bagi pelajar dan masyarakat yang ingin mengenal lebih dekat satwa liar khas Kalimantan.
“Banyak pengunjung, terutama anak-anak, baru pertama kali melihat buaya dari dekat. Koleksi ini selalu jadi perhatian utama,” kata pengelola museum, Sopyan Hadi, Jumat (16/5/2025).
Namun di balik daya tarik tersebut, Museum Kayu Tuah Himba kini menghadapi tantangan serius. Jumlah pengunjung yang dulunya bisa mencapai 20 hingga 25 orang per hari sebelum pandemi, kini merosot drastis menjadi hanya 4–5 orang per hari.
“Kecuali akhir pekan atau saat ada kunjungan sekolah, pengunjung harian sangat sedikit. Februari nanti kami tunggu rombongan dari SD di Balikpapan, sekitar 200 siswa. Itu sangat membantu,” ungkap Sopyan.
Dibandingkan dengan museum-museum besar, Tuah Himba memang mengusung konsep sederhana. Namun justru di situlah letak kekuatannya: koleksi kayu langka, perabot rumah tradisional, artefak budaya, dan tentu saja, buaya awetan menjadi pintu pembelajaran langsung tentang sejarah dan alam Kalimantan.
“Untuk perawatannya tidak mudah. Buaya ini disimpan dengan bahan pengawet seperti formalin, jadi harus ditangani oleh ahli, bahkan dokter hewan. Tidak seperti koleksi kayu ulin yang cukup dipelitur,” jelasnya.
Museum ini menawarkan wisata edukatif dengan biaya sangat terjangkau, yakni Rp5 ribu untuk dewasa dan Rp3 ribu untuk anak-anak. Sayangnya, rendahnya minat generasi muda terhadap museum menjadi tantangan tersendiri.
“Sekarang orang lebih suka tempat yang bisa update di media sosial. Museum dianggap kurang menarik,” ujarnya.
Pihak museum sempat menjalin kerja sama promosi dengan salah satu jaringan kedai kopi, memberikan tiket masuk gratis untuk pembelian produk tertentu. Namun program tersebut kini sudah berakhir.
Sopyan berharap ada intervensi dari pemerintah daerah dan komunitas lokal untuk menghidupkan kembali museum ini. Ia mengusulkan pemanfaatan media sosial, pembuatan video edukatif, dan program tur interaktif sebagai strategi menarik minat pelajar dan keluarga muda.
“Kalau bisa, koleksi buaya ini dijadikan ikon promosi museum. Dikenalkan ke sekolah-sekolah, dijadikan bahan edukasi digital. Anak-anak jadi tertarik dan bisa belajar langsung tentang ekosistem Kalimantan,” tuturnya. (Adv)