TENGGARONG – Di tengah derasnya arus modernisasi, Desa Kedang Ipil, Kecamatan Kota Bangun Darat, tak tinggal diam. Di desa yang kaya tradisi ini, sebuah bahasa sakral yang dulu hanya diucapkan dalam momen-momen spiritual kini sedang berada di ambang kepunahan. Yaitu bahasa ritual Belian Namang yang oleh sebagian akademisi dijuluki sebagai bahasa para dewa.
Bahasa ini bukan sekadar alat komunikasi, melainkan jiwa dari ritual adat Belian Namang. Upacara pemanggilan roh leluhur dan pemohon keselamatan yang diwariskan turun-temurun oleh masyarakat Dayak di Kedang Ipil. Namun hari ini, hanya segelintir tetua adat yang masih mampu merapal bahasa sakral itu secara utuh.
“Ini bukan sekadar soal tradisi. Ini tentang jati diri kami sebagai masyarakat adat,” tegas Camat Kota Bangun Darat, Julkifli, Selasa (11/3/2025).
Menyadari ancaman kepunahan tersebut, pemerintah kecamatan bersama tokoh adat dan masyarakat desa bahu membahu menghidupkan kembali semangat pelestarian. Salah satu langkah nyatanya adalah melalui Festival Adat Budaya Belian Namang, yang digelar rutin sebagai ruang belajar lintas generasi.
Dalam festival ini, generasi muda diberi ruang khusus untuk belajar langsung dari para tetua adat. Bukan hanya tentang pelafalan bahasa, tetapi juga tentang nilai-nilai, filosofi, dan kepercayaan yang menghidupkan tiap bait mantra.
“Regenerasi itu kuncinya. Kalau kita tidak tanamkan sekarang, bisa jadi dalam 10–20 tahun ke depan, tidak ada lagi yang bisa menyebut satu patah kata pun dari bahasa ini,” tambah Julkifli.
Tidak hanya melalui festival, kolaborasi dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kukar juga terus berjalan. Saat ini, proses dokumentasi bahasa Belian Namang sedang dilakukan dalam berbagai bentuk: buku, audio rekaman, hingga video ritual yang merekam ekspresi budaya secara utuh.
Tak ketinggalan, masyarakat adat bersama komunitas digital lokal tengah mengembangkan kamus daring dan konten pembelajaran multimedia, agar bahasa ini tak hanya disimpan dalam ingatan, tetapi juga dapat diakses lintas generasi.
“Kalau zaman berubah, maka cara kita melestarikan pun harus berubah. Kita bawa bahasa leluhur ini masuk ke dunia digital,” ujar salah satu pegiat budaya di Kedang Ipil.
Bagi masyarakat Kedang Ipil, Belian Namang bukan sekadar ritual, tetapi identitas yang tak tergantikan. Harapannya, ke depan, kekayaan budaya ini tak hanya lestari, tapi juga mampu menjadi daya tarik wisata budaya, sekaligus menggerakkan ekonomi lokal berbasis tradisi.
“Jika kita bisa jaga warisan ini, maka anak cucu kita tidak hanya punya sejarah untuk dikenang, tapi juga akar yang membuat mereka tahu siapa dirinya,” pungkas Julkifli. (Adv)